Rabu, 09 November 2011

Kiai

SELAMA hidup, baru kali ini saya ikut haul pondok pesantren. Grubyuk, akrab, dan meriah. Rakyat dan pejabat hadir bersama menikmati wayang kulit, dangdut, reog, hadrah, gandrung, dan melihat santri berunjuk kekebalan.

Begitulah cara Kiai Syarif Hidayatullah memperingati ulang tahun pondoknya, Nurul Huda di Sragen, Jawa Tengah, pertengahan Maret lalu. Kiai muda yang selalu ndelamak tanpa sepatu atau sandal ini diyakini ampuh ucapannya. Banyak orang ingin dapat berkah darinya. Ia tahu seseorang itu bersih, busuk, atau berhati hewan.

Pernah, seorang kiai sowan ke pondoknya. Tanpa banyak omong, tamu itu disuruhnya wudu dan salat. Usai salat, dia disuruh pulang. Sosok kiai itu dianggapnya masih kotor. Jiwanya belum bersih. Dia bukan waliyullah, melainkan wali-ulo alias wali-ular --yang gemar menyemburkan bisa, dan menelan mangsanya.

Memang, sebelum seseorang menjumpai dan mengutarakan maksudnya, Kiai Syarif sudah berkomunikasi dengan jiwa orang itu. Seseorang yang berdiri di depannya ibarat buku yang tinggal dibuka, lembar demi lembar, sejarah hidupnya terkuak. Dan, Kiai Syarif biasanya bilang: ''Sudah, aku sudah tahu.''

Begitulah bila qadha (daya perorangan) dan qadar (daya Allah) telah diturunkan. Ia memahami bahasa alam, bahasa hidup, bahasa gerak. Ia mampu membaca suasana, hati, pikiran, dan perasaan orang, karena seluruhnya memancarkan getaran. Ia tak berdaya untuk tidak ''melihat'', bukan karena ingin melihat.

Umumnya sebuah pondok, di Nurul Huda siapa saja boleh ngaji --tak peduli usia dan status sosial. Di situ ilmu dikupas, tanpa ditutup-tutupi. ''Keterbukaan itu menuju keteladanan. Jika tidak bisa diteladani, pasti akan telantar,'' katanya. Dan, ujung-ujungnya menjadi gelap atau menggelapkan, menyembunyikan yang bukan hak.

Para santri digembleng agar mau tirakat, melek, dan mampu menahan lapar. Lapar bisa membuat seseorang sakti, dan tidak tidur menjadikan seseorang tambah waskita. Ada pula yang diajak memahami hidup ke Candi Ceto, napak tilas di Alas Purwo, dan bertafakur di gua di Banyuwangi, Jawa Timur.

Itulah bentuk penggemblengan diri agar berjiwa besar, seperti paku. ''Paku itu bila dipukul tambah manteb, tambah masuk ke dalam, dan makin kuat,'' kata Kiai. Batinnya disempurnakan. Tafakur itu mula-mula mengendalikan pandangan, lalu mengendalikan perasaan, dan kemudian mengendalikan kesadaran.

Mereka harus berzikir. Setiap tarikan dan keluarnya napas dilembari asma Allah. Harus disadari bahwa manusia tidak pernah terpisah dari Allah. Kita tak hanya bernapas melalui tubuh, juga melalui pikiran dan jiwa. Kehadiran-Nya sangat dekat, lebih dekat dari urat leher.

Dan, menjadi guru atau kiai itu, ''Harus bisa ngayomi, hingga murid tidak merasa dipinteri,'' katanya. Banyak guru yang belum sampai pada tahap pinter tapi sudah keminter alias sok pintar atau minteri --menganggap orang lain bodoh dan dirinya paling jempol.

Belum lagi yang suka menyebar fitnah. Orang lain diremehkan, sementara diri sendiri diagung-agungkan. Hatinya puas bila orang lain terpuruk atau kelabakan. Tapi, ''Kalau saya difitnah, itu sudah biasa. Saya justru nikmat kena fitnah. Tidak ada yang menandingi nikmatnya fitnah,'' ujarnya.

Bagi Kiai Syarif, mungkin, di dunia ini tiada sesuatu yang tanpa makna. Adapun bagi kita yang awam, yang kurang peka memahami hidup, dunia adalah ajang mengobral nafsu. Itulah bedanya. Itu pula, antara lain, motor Kiai digambari anjing. Sebuah ilustrasi jagat raya yang diisi orang-orang yang suka menyalak, menggertak, dan ngeletak alias menggigit.

Zaman edan, mungkin. Buktinya, hukum hanya untuk memayungi orang-orang gede --yang berduit dan bisa ngeletak-- sedangkan wong cilik malah tidak dipayungi. Pilih kasih, tak ada nurani, dan tanpa perasaan. Terbolak-balik. Bayangkan, ''Yang tokoh disampahkan, yang sampah ditokohkan,'' katanya.

Banyak juga yang berjiwa kerdil, tidak legowo. Padahal, bila kita menyebabkan orang lain menderita, penderitaan itu akan dikembalikan kepada kita. Bila kita menyebabkan orang lain senang, kesenangan itu akan kembali pula. Bila kita memberi cinta, cinta itu pun berbalas. Bila kita melontarkan kebencian, kebencian itu pun kembali dalam satu bentuk --mungkin penderitaan atau penyakit.

Itulah rahasia alam. Bagi Kiai? ''Saya berusaha untuk menguntungkan orang lain,'' katanya. Dan, salah satu perwujudannya adalah dalam pesta haul di Pondok Nurul Huda itu. Menyenangkan wong cilik. Ia juga merangkul dan mendandani preman, penjudi, pemabuk, agar menjadi orang baik. Dialah ''montir'' sesungguhnya, yang siap berlepotan oli dan gemuk.

Orang-orang bijak di Timur pernah disebut Balakush, artinya ''orang yang mengangkat beban dari semua kesulitan''. Mereka menganggap kesulitan hidup sebagai anggur untuk diminum, setelah diminum akan lenyap. Mereka tidak takut pada kesulitan. Mereka tak ingin menghindarinya. ''Bila kita menghindarinya sekarang, pada saat lain ia akan menemui kita lagi. Maka, biarkanlah dia datang, dan mari kita meminumnya seperti anggur,'' kata orang bijak.

Kapankah kita menjadi bijak?

[Widi Yarmanto]
[Esai, GATRA, Nomor 20 Beredar Senin 5 April 2003]

Klakep

Oleh: Widi Yarmanto

KEMATIAN datang tanpa dinyana. Tanpa mengetuk pintu, tiada sinyal maupun aba-aba. Itu yang sering membuat gelo yang ditinggalkan; anak, istri, atau suami yang jadi sigaraning nyowo, belahan jiwa. Apalagi jika kematian itu menyisakan nadar yang belum terlaksana. Nyesal-nya sampai bulanan.

Minggu siang lalu, maut juga muncul tanpa diduga. Suasana resepsi pernikahan di rumah H. Tamri di Desa Jambu, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, berubah jadi jerit tangis air mata. Sebuah tronton bermuatan 500 sak semen nggelondor mundur, lalu menghajar rumah itu.

Truk tersebut baru berhenti setelah menghantam gardu listrik dan menimbulkan ledakan dahsyat. Seorang saksi mata, Jarkoni, sempat berteriak: ''Masya Allah! Allahu Akbar! Minggir-minggir!'' Toh, musibah itu tidak terelakkan. 17 orang tamu undangan tewas dan 13 orang luka-luka.

Sebenarnya, tronton yang mogok kurang lebih satu jam di tanjakan Kethekan --sekitar 50 meter dari lokasi musibah-- itu sedang dibetulkan oleh sopirnya, Wawan. Rodanya diganjal balok kayu. Jarkoni sudah mengingatkan agar ditambahi pengganjal. Wawan tak menggubris. Musibah pun tak terhindarkan, walau mati adalah takdir.

Itu pula, mungkin, yang membuat orangtua sering mengingatkan agar punya ''bekal'' kalau sewaktu-waktu dijemput maut. Tak mengherankan jika tiba-tiba teman saya, seorang seniman, di-SMS keluarganya. Isinya: ''Cepat pulang. Penting. Bapak mau bicara.''

Ada apa? Ternyata dia diwejang. Umur sudah hampir 40 tahun, tapi salat belum sempurna. Rupanya, itu yang membuat orangtua gelisah. Terlebih setelah orangtuanya mengikuti pengajian. Waktu itu, kepada kiai yang juga pemilik pondok pesantren, dia bertanya: ''Kiai sudah bisa salat atau belum?''

Sang kiai menjawab polos: ''Belum!'' Lho, jadi kiai kok belum bisa salat? Diakui secara jujur bahwa salatnya sering sekadar njengkang-njengking tapi batinnya melayang entah ke mana. Pengakuan jujur itu yang membuat ayah si seniman mengacungkan jempol. Salut. Berarti kiai ini menyadari yang benar dan yang salah.

Sejak itu, rahasia kehidupan yang dicari sejak muda hingga menjelang 70 tahun seakan terjawab. Itu yang membuat dia buru-buru meng-SMS anaknya yang seniman. Dia diwejang agar tidak hidup dalam kegelapan. Agar mengerti kebenaran. Harus sunyi dari pamrih. Tidak iri hati, sebab iri ibarat api yang membakar kebaikan.

Pendeknya, manusia itu harus bisa mengekspresikan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya. Theodore Roszack, seorang tokoh mistik, pernah mengatakan pada diri manusia itu ada ruang spiritual yang kalau ruang itu tidak diisi dengan hal-hal baik, secara otomatis akan diisi hal-hal buruk.

Hati akan menjadi semakin bening jika ucapan dan hati sejalan. Perbanyaklah zikir, yang dengan rendah hati merasakan keagungan Allah. Mintalah selalu ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim) yang tak hanya horizontal juga vertikal. ''Dalam pemahaman saya, frekuensi saya harus sesuai dengan frekuensi Allah,'' kata si seniman.

Artinya, dia selalu menyadari dalam pengawasan Allah. Itu sebabnya, pergi ke mana saja, jika waktu salat sudah masuk --dan belum salat-- seniman ini gelisah. Sepertinya dia sedang menuju kehidupan sejati yang ''tak tersentuh'' oleh kematian, saking dekatnya dengan Ilahi.

Dia ingin dekat pada Allah secara total. Dia ingin mati dengan membawa ''bekal''. Dia tak ingin tertipu oleh angan-angan panjang, oleh kepongahan duniawi. Apalagi, siksa kubur itu bukan omong kosong. Perubahan drastis itu, tak urung membuat rekan-rekannya heran.

Memang, dalam sebuah pengajian, Kiai Syarif Hidayatullah dari pondok Nurul Huda, Sragen, Jawa Tengah, pernah mengajak jamaahnya menyimak siksa kubur. ''Saya mau bercerita tentang siksa kubur. Tapi, saya minta semua diam dan tenang,'' katanya. Cep klakep. Sekitar 1.000 jemaah kontan tak bercuap.

Di saat hening itulah, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang wanita. ''Sampeyan dengar? Itulah tangisan siksa kubur,'' kata Kiai Syarif. Tangisan perempuan di malam Jumat Legi itu membuat orang terlarut dalam pikiran masing-masing. Siapa yang menangis dan mengapa dia menangis?

''Mari kita cari suara tangisan itu. Kita doakan bersama-sama agar siksa kuburnya diringankan Allah,'' ujar Kiai. Lima orang santri pondok diminta menjadi ''penunjuk jalan'' menelusuri arah tangisan tersebut. Para jamaah mengikuti dari belakang.

Suara itu makin lamat-lamat, walau sumbernya jelas: dari sebuah kuburan baru di pinggir desa. Tanah kubur itu belum ditumbuhi rumput. Lalu ramai-ramai mereka jongkok, berdoa, dan terlarut dalam emosi masing-masing. Surat Al-Fatihah, Alam Nasyrah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, serta salawat Nabi dilantunkan.

Gemuruh doa itu terdengar hingga meluruhkan tangisan dari dalam kubur. Di atas kubur, justru para ibu yang menangis. Mungkin trenyuh, mungkin menyesali perbuatan yang lalu. Makanya, Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Ziarahilah kubur, karena itu akan mengingatkanmu akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena mengurus jasad yang tidak bernyawa merupakan pelajaran yang sangat berharga.''

Sepulang dari pengajian masing-masing orang punya kesan sendiri. ''Saya betul-betul merinding,'' ujar Joko, seorang santri. Sejak itu hamba Allah ini selalu berusaha tidak batal dari wudhu. Jika melihat atau mendengar ada orang kena musibah, misalnya, dengan enteng ia mengirim Al-Fatihah: ''Semoga penderitaannya diringankan Allah.''

Cerita tentang siksa kubur memang sering membawa makna yang dalam. Perenungan tentang mati yang terus menerus juga bisa mengobati dari kelumpuhan spiritual. Jangan heran jika rekan saya yang seniman belakangan ini ingin selalu ''dekat'' dengan Ilahi. Dan, itu nikmat!

[Esai, Gatra, Edisi 36 Beredar Jumat 16 Juli 2004]