Selasa, 12 Januari 2010

DOMPET

Oleh: Widi Yarmanto


MENGUKUR batin seseorang itu tidak mudah. Kita bisa dibuat terkecoh. Melihat
seorang pria perlente berjas dasi, misalnya, dikira eksekutif, eh, ternyata
penggasak uang rakyat. Atau, wanita cantik, wangi, dan bergaya bicara menarik
ternyata seorang penipu ulung.

Sebaliknya, seseorang yang kucel tak terawat, berpakaian sederhana --olah
vokalnya pun amat sangat tidak meyakinkan-- ternyata bukan orang sembarangan.
Ilmunya mumpuni. Dia tak lagi peduli apakah melihat perempuan atau sebuah
tembok. Dia telah luruh dari segala sesuatu.

Dia tak sedih bila menghadapi masalah. Sebab, keyakinannya, Allah tidak akan
memberi beban pada umatnya yang tak mampu memikul. Bahwa masalahnya belum
terselesaikan, itu semata-mata karena belum bisa belajar bersabar. "Bagaimana
bisa bersabar bila nafsumu terus berjalan menyinari akalmu?"

Makanya, jangan melihat seseorang dari kulitnya saja. Apalagi sekadar nguping
dari isu yang tak jelas sumbernya, hingga cenderung menyudutkan serta mengandung
fitnah. Melihat dengan kepekaan batin memang tidak mudah.

Berdeda dengan melihat sesuatu memakai kacamata materi. Wong, minta tolong
ditunjukkan hotel anu yang tak lebih dari 20 langkah saja dengan imbalan. "Bapak
punya rokok, kan?" katanya. Lantaran bukan perokok, ya, mentahnya saja.

Rasanya, menemukan orang tanpa pamrih terasa tidak mudah. Mungkin, akibat
kehidupan yang makin keras, hingga segala aktivitas dinilai dengan duit. Atau,
barangkali, ini pertanda bahwa bumi dan otak makin kopyor. Walhasil, semuanya
ditinjau dari "bermanfaat buat kantong atau tidak, menaikkan martabat atau
tidak".

Dengan pertimbangan itu pula seorang pengurus yayasan pendidikan sampai
mengorbankan idealismenya. Ceritanya, ia perlu dana operasional jutaan rupiah.
Ia nekat mengagunkan surat mobil pada bank. Padahal, fisik mobil itu sudah
tiada, dicuri orang.

"Nanti kalau ketahuan dan masuk bui, bagaimana," tanya istrinya penuh
ketar-ketir. Jawab si suami ketus: "Saya yang bertanggung jawab." Jawaban
nyelekit seperti itu amat mengagetkan, setelah sekitar 10 tahun berumah tangga.
Tampaknya, otak suaminya sudah ditumpulkan oleh kehormatan yang berlebihan.

Sebenarnya, jika kita bisa melihat sesuatu secara jernih, semuanya insya Allah
beres. Apalagi melihat dengan mata batin. Itu pula yang dilakukan seorang
penjual kemenyan Arab di Tanah Abang pada calon pembelinya. Setelah batinnya
mengatakan "orang ini berkaromah", sikap acuh tak acuhnya berubah total.

"Bapak ini siapa?" tanyanya. Pria muda berkacamata hitam dan bertopi itu
tersenyum. Ia hanya menyebut sebagai orang biasa. Si penjual tak percaya. "Bapak
dikelilingi sinar putih. Masya Allah," katanya keheranan.

Dan, karenanya, kemenyan itu digratiskan. "Silakan Bapak ambil," katanya. Tapi
pria itu ingin membayar sesuai dengan harga penawaran yang Rp 65.000. "Saya
tidak ingin merugikan Bapak," kata si calon pembeli. Akhirnya, dicapai kompromi.
"Bapak doakan saya, dan kemenyan ini untuk Bapak," katanya. Transaksi terjadi,
pembacaan doa pun oke.

Bisa jadi, pandangan batin si penjual benar. Kiai muda itu punya kepatuhan
mutlak pada Allah. Dia pun bukan yang dibutakan oleh harta. Dan, karena itu, dia
tak pernah menghitung jika beramal. Dia memberi sesuai dengan bisikan batin.
"Uang di dompet saya bisa ludes karena saya berikan pada orang yang
membutuhkan," katanya, tanpa bermaksud riya'.

Kejadian itu berulang kali, dan tetap terulang terus. Kepada para jamaahnya, ia
tak pernah henti mengumandang keikhlasan agar semua amal menjadi beres.
Perlakuannya pada segala makhluk ciptaan Allah dilakukan dengan penuh kasih. Ia,
misalnya, tak mau menginjak rumput, dan memilih berjalan melingkar ketimbang
rumput itu mati terinjak.

Cara menyikapi seperti itu, mungkin, yang dimaksud dengan "melihat dengan cahaya
Tuhan". Jiwanya telah menapak jalan kesufian. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari
dan Tirmidzi dikatakan: "Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab
sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Tuhan."

Anda pernah mendengar kisah dari Abu Al-Abbas ibn Al-Muhradi dalam Menggapai
Kecerdasan Sufistik, Penerbit Hikmah? "Suatu kali aku berada di padang pasir.
Aku melihat seorang laki-laki berjalan di hadapanku dengan kaki telanjang dan
tanpa penutup kepala, dan dia tidak membawa dompet. Aku berkata dalam diriku
sendiri, 'Bagaimana orang ini berdoa? Dia tidak memiliki kesucian maupun doa'."

Belum sempat sempat Al-Muhradi berprasangka lebih jauh, orang itu berpaling
kepadanya dan berkata, "Dia tahu apa yang ada di dalam hatimu, karena itu
takutlah kepada-Nya." Segera sesudah itu, Al-Muhradi pingsan. Begitu sadar, dia
memohon ampun kepada Tuhan karena telah salah menuduh seseorang.

Al-Muhardi melanjutkan kisahnya, "Ketika aku sedang berjalan sepanjang jalan
itu, dia datang lagi ke hadapanku; ketika aku melihatnya, aku merasa takut dan
berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kepadaku dan menyitir ayat suci, 'Allah
yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, dan mengampuni perbuatan-perbuatan
buruk mereka'." Selesai berucap, orang itu menghilang. "Dan, aku tidak pernah
melihatnya lagi." Wallahualam.

[Esai, GATRA, Edisi 12 Beredar Jumat 30 Januari 2004]

--------------------------------------------------------------------------------
URL: http://www.gatra.com/