Rabu, 09 November 2011

Kiai

SELAMA hidup, baru kali ini saya ikut haul pondok pesantren. Grubyuk, akrab, dan meriah. Rakyat dan pejabat hadir bersama menikmati wayang kulit, dangdut, reog, hadrah, gandrung, dan melihat santri berunjuk kekebalan.

Begitulah cara Kiai Syarif Hidayatullah memperingati ulang tahun pondoknya, Nurul Huda di Sragen, Jawa Tengah, pertengahan Maret lalu. Kiai muda yang selalu ndelamak tanpa sepatu atau sandal ini diyakini ampuh ucapannya. Banyak orang ingin dapat berkah darinya. Ia tahu seseorang itu bersih, busuk, atau berhati hewan.

Pernah, seorang kiai sowan ke pondoknya. Tanpa banyak omong, tamu itu disuruhnya wudu dan salat. Usai salat, dia disuruh pulang. Sosok kiai itu dianggapnya masih kotor. Jiwanya belum bersih. Dia bukan waliyullah, melainkan wali-ulo alias wali-ular --yang gemar menyemburkan bisa, dan menelan mangsanya.

Memang, sebelum seseorang menjumpai dan mengutarakan maksudnya, Kiai Syarif sudah berkomunikasi dengan jiwa orang itu. Seseorang yang berdiri di depannya ibarat buku yang tinggal dibuka, lembar demi lembar, sejarah hidupnya terkuak. Dan, Kiai Syarif biasanya bilang: ''Sudah, aku sudah tahu.''

Begitulah bila qadha (daya perorangan) dan qadar (daya Allah) telah diturunkan. Ia memahami bahasa alam, bahasa hidup, bahasa gerak. Ia mampu membaca suasana, hati, pikiran, dan perasaan orang, karena seluruhnya memancarkan getaran. Ia tak berdaya untuk tidak ''melihat'', bukan karena ingin melihat.

Umumnya sebuah pondok, di Nurul Huda siapa saja boleh ngaji --tak peduli usia dan status sosial. Di situ ilmu dikupas, tanpa ditutup-tutupi. ''Keterbukaan itu menuju keteladanan. Jika tidak bisa diteladani, pasti akan telantar,'' katanya. Dan, ujung-ujungnya menjadi gelap atau menggelapkan, menyembunyikan yang bukan hak.

Para santri digembleng agar mau tirakat, melek, dan mampu menahan lapar. Lapar bisa membuat seseorang sakti, dan tidak tidur menjadikan seseorang tambah waskita. Ada pula yang diajak memahami hidup ke Candi Ceto, napak tilas di Alas Purwo, dan bertafakur di gua di Banyuwangi, Jawa Timur.

Itulah bentuk penggemblengan diri agar berjiwa besar, seperti paku. ''Paku itu bila dipukul tambah manteb, tambah masuk ke dalam, dan makin kuat,'' kata Kiai. Batinnya disempurnakan. Tafakur itu mula-mula mengendalikan pandangan, lalu mengendalikan perasaan, dan kemudian mengendalikan kesadaran.

Mereka harus berzikir. Setiap tarikan dan keluarnya napas dilembari asma Allah. Harus disadari bahwa manusia tidak pernah terpisah dari Allah. Kita tak hanya bernapas melalui tubuh, juga melalui pikiran dan jiwa. Kehadiran-Nya sangat dekat, lebih dekat dari urat leher.

Dan, menjadi guru atau kiai itu, ''Harus bisa ngayomi, hingga murid tidak merasa dipinteri,'' katanya. Banyak guru yang belum sampai pada tahap pinter tapi sudah keminter alias sok pintar atau minteri --menganggap orang lain bodoh dan dirinya paling jempol.

Belum lagi yang suka menyebar fitnah. Orang lain diremehkan, sementara diri sendiri diagung-agungkan. Hatinya puas bila orang lain terpuruk atau kelabakan. Tapi, ''Kalau saya difitnah, itu sudah biasa. Saya justru nikmat kena fitnah. Tidak ada yang menandingi nikmatnya fitnah,'' ujarnya.

Bagi Kiai Syarif, mungkin, di dunia ini tiada sesuatu yang tanpa makna. Adapun bagi kita yang awam, yang kurang peka memahami hidup, dunia adalah ajang mengobral nafsu. Itulah bedanya. Itu pula, antara lain, motor Kiai digambari anjing. Sebuah ilustrasi jagat raya yang diisi orang-orang yang suka menyalak, menggertak, dan ngeletak alias menggigit.

Zaman edan, mungkin. Buktinya, hukum hanya untuk memayungi orang-orang gede --yang berduit dan bisa ngeletak-- sedangkan wong cilik malah tidak dipayungi. Pilih kasih, tak ada nurani, dan tanpa perasaan. Terbolak-balik. Bayangkan, ''Yang tokoh disampahkan, yang sampah ditokohkan,'' katanya.

Banyak juga yang berjiwa kerdil, tidak legowo. Padahal, bila kita menyebabkan orang lain menderita, penderitaan itu akan dikembalikan kepada kita. Bila kita menyebabkan orang lain senang, kesenangan itu akan kembali pula. Bila kita memberi cinta, cinta itu pun berbalas. Bila kita melontarkan kebencian, kebencian itu pun kembali dalam satu bentuk --mungkin penderitaan atau penyakit.

Itulah rahasia alam. Bagi Kiai? ''Saya berusaha untuk menguntungkan orang lain,'' katanya. Dan, salah satu perwujudannya adalah dalam pesta haul di Pondok Nurul Huda itu. Menyenangkan wong cilik. Ia juga merangkul dan mendandani preman, penjudi, pemabuk, agar menjadi orang baik. Dialah ''montir'' sesungguhnya, yang siap berlepotan oli dan gemuk.

Orang-orang bijak di Timur pernah disebut Balakush, artinya ''orang yang mengangkat beban dari semua kesulitan''. Mereka menganggap kesulitan hidup sebagai anggur untuk diminum, setelah diminum akan lenyap. Mereka tidak takut pada kesulitan. Mereka tak ingin menghindarinya. ''Bila kita menghindarinya sekarang, pada saat lain ia akan menemui kita lagi. Maka, biarkanlah dia datang, dan mari kita meminumnya seperti anggur,'' kata orang bijak.

Kapankah kita menjadi bijak?

[Widi Yarmanto]
[Esai, GATRA, Nomor 20 Beredar Senin 5 April 2003]

Klakep

Oleh: Widi Yarmanto

KEMATIAN datang tanpa dinyana. Tanpa mengetuk pintu, tiada sinyal maupun aba-aba. Itu yang sering membuat gelo yang ditinggalkan; anak, istri, atau suami yang jadi sigaraning nyowo, belahan jiwa. Apalagi jika kematian itu menyisakan nadar yang belum terlaksana. Nyesal-nya sampai bulanan.

Minggu siang lalu, maut juga muncul tanpa diduga. Suasana resepsi pernikahan di rumah H. Tamri di Desa Jambu, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, berubah jadi jerit tangis air mata. Sebuah tronton bermuatan 500 sak semen nggelondor mundur, lalu menghajar rumah itu.

Truk tersebut baru berhenti setelah menghantam gardu listrik dan menimbulkan ledakan dahsyat. Seorang saksi mata, Jarkoni, sempat berteriak: ''Masya Allah! Allahu Akbar! Minggir-minggir!'' Toh, musibah itu tidak terelakkan. 17 orang tamu undangan tewas dan 13 orang luka-luka.

Sebenarnya, tronton yang mogok kurang lebih satu jam di tanjakan Kethekan --sekitar 50 meter dari lokasi musibah-- itu sedang dibetulkan oleh sopirnya, Wawan. Rodanya diganjal balok kayu. Jarkoni sudah mengingatkan agar ditambahi pengganjal. Wawan tak menggubris. Musibah pun tak terhindarkan, walau mati adalah takdir.

Itu pula, mungkin, yang membuat orangtua sering mengingatkan agar punya ''bekal'' kalau sewaktu-waktu dijemput maut. Tak mengherankan jika tiba-tiba teman saya, seorang seniman, di-SMS keluarganya. Isinya: ''Cepat pulang. Penting. Bapak mau bicara.''

Ada apa? Ternyata dia diwejang. Umur sudah hampir 40 tahun, tapi salat belum sempurna. Rupanya, itu yang membuat orangtua gelisah. Terlebih setelah orangtuanya mengikuti pengajian. Waktu itu, kepada kiai yang juga pemilik pondok pesantren, dia bertanya: ''Kiai sudah bisa salat atau belum?''

Sang kiai menjawab polos: ''Belum!'' Lho, jadi kiai kok belum bisa salat? Diakui secara jujur bahwa salatnya sering sekadar njengkang-njengking tapi batinnya melayang entah ke mana. Pengakuan jujur itu yang membuat ayah si seniman mengacungkan jempol. Salut. Berarti kiai ini menyadari yang benar dan yang salah.

Sejak itu, rahasia kehidupan yang dicari sejak muda hingga menjelang 70 tahun seakan terjawab. Itu yang membuat dia buru-buru meng-SMS anaknya yang seniman. Dia diwejang agar tidak hidup dalam kegelapan. Agar mengerti kebenaran. Harus sunyi dari pamrih. Tidak iri hati, sebab iri ibarat api yang membakar kebaikan.

Pendeknya, manusia itu harus bisa mengekspresikan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya. Theodore Roszack, seorang tokoh mistik, pernah mengatakan pada diri manusia itu ada ruang spiritual yang kalau ruang itu tidak diisi dengan hal-hal baik, secara otomatis akan diisi hal-hal buruk.

Hati akan menjadi semakin bening jika ucapan dan hati sejalan. Perbanyaklah zikir, yang dengan rendah hati merasakan keagungan Allah. Mintalah selalu ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim) yang tak hanya horizontal juga vertikal. ''Dalam pemahaman saya, frekuensi saya harus sesuai dengan frekuensi Allah,'' kata si seniman.

Artinya, dia selalu menyadari dalam pengawasan Allah. Itu sebabnya, pergi ke mana saja, jika waktu salat sudah masuk --dan belum salat-- seniman ini gelisah. Sepertinya dia sedang menuju kehidupan sejati yang ''tak tersentuh'' oleh kematian, saking dekatnya dengan Ilahi.

Dia ingin dekat pada Allah secara total. Dia ingin mati dengan membawa ''bekal''. Dia tak ingin tertipu oleh angan-angan panjang, oleh kepongahan duniawi. Apalagi, siksa kubur itu bukan omong kosong. Perubahan drastis itu, tak urung membuat rekan-rekannya heran.

Memang, dalam sebuah pengajian, Kiai Syarif Hidayatullah dari pondok Nurul Huda, Sragen, Jawa Tengah, pernah mengajak jamaahnya menyimak siksa kubur. ''Saya mau bercerita tentang siksa kubur. Tapi, saya minta semua diam dan tenang,'' katanya. Cep klakep. Sekitar 1.000 jemaah kontan tak bercuap.

Di saat hening itulah, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang wanita. ''Sampeyan dengar? Itulah tangisan siksa kubur,'' kata Kiai Syarif. Tangisan perempuan di malam Jumat Legi itu membuat orang terlarut dalam pikiran masing-masing. Siapa yang menangis dan mengapa dia menangis?

''Mari kita cari suara tangisan itu. Kita doakan bersama-sama agar siksa kuburnya diringankan Allah,'' ujar Kiai. Lima orang santri pondok diminta menjadi ''penunjuk jalan'' menelusuri arah tangisan tersebut. Para jamaah mengikuti dari belakang.

Suara itu makin lamat-lamat, walau sumbernya jelas: dari sebuah kuburan baru di pinggir desa. Tanah kubur itu belum ditumbuhi rumput. Lalu ramai-ramai mereka jongkok, berdoa, dan terlarut dalam emosi masing-masing. Surat Al-Fatihah, Alam Nasyrah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, serta salawat Nabi dilantunkan.

Gemuruh doa itu terdengar hingga meluruhkan tangisan dari dalam kubur. Di atas kubur, justru para ibu yang menangis. Mungkin trenyuh, mungkin menyesali perbuatan yang lalu. Makanya, Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Ziarahilah kubur, karena itu akan mengingatkanmu akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena mengurus jasad yang tidak bernyawa merupakan pelajaran yang sangat berharga.''

Sepulang dari pengajian masing-masing orang punya kesan sendiri. ''Saya betul-betul merinding,'' ujar Joko, seorang santri. Sejak itu hamba Allah ini selalu berusaha tidak batal dari wudhu. Jika melihat atau mendengar ada orang kena musibah, misalnya, dengan enteng ia mengirim Al-Fatihah: ''Semoga penderitaannya diringankan Allah.''

Cerita tentang siksa kubur memang sering membawa makna yang dalam. Perenungan tentang mati yang terus menerus juga bisa mengobati dari kelumpuhan spiritual. Jangan heran jika rekan saya yang seniman belakangan ini ingin selalu ''dekat'' dengan Ilahi. Dan, itu nikmat!

[Esai, Gatra, Edisi 36 Beredar Jumat 16 Juli 2004]

Sabtu, 14 Agustus 2010

NIAT

Saya sempat jalan-jalan ke selayar.blog, dan menemukan tulisannya Widi Yarmanto yang berjudul "niat". Karena saya sangat suka dengan tulisan itu, maka saya muat di blog ini. Selamat membaca!
-----------------
NIAT itu punya kekuatan luar biasa. Jika niat itu lurus, sering membuahkan di luar dugaan. Sebaliknya, niat yang ragu-ragu acap berujung jeblok. Atau, kalaupun dipaksakan, sering berakhir dengan nggedumel di hati, dan menyalahkan orang lain.

Akibatnya, wajah ditekuk hingga manyun. Jika diingatkan bahwa cemberut itu tak sedap dipandang, jawabannya malah sengak: "Biarin, wajah-wajahku sendiri, marah-marahku sendiri." Lho, tambah umur, kok, kembali jadi kanak-kanak.

Bekerja, bertetangga, dan berteman pun tak lepas dari niat. Niat untuk mengabdi, menjalin persaudaraan, atau apa pun. Misalnya, kerjaan tak beres diingatkan sebagai asal-asalan malah sewot, "Merasa ditikam dari belakang." Aneh!

Padahal, koreksi itu justru cambuk agar Anda bisa berlari kencang. Atau, kalaupun dimarahi --lantaran yakin Anda dalam policy koridor kebenaran-- sambutlah dengan rasa terima kasih. Sebab, itu justru membantu ketenangan dan kebijaksanaan Anda, tak usah bete.

Memang, kita cenderung nikmat untuk berilusi. Puas pada diri sendiri. Kita mungkin sadar memasuki api yang menyala, tapi belum menyadari akibatnya. Seringkali kesadaran itu muncul belakangan, setelah langkah terbentur kiri-kanan, setelah kayu berubah arang.

Kita pasti pernah mengalami bahwa marah itu tidak nyaman. Nafsu itu hanya akan membuat napas tersendat di leher, dan badan serasa dilolosi. Tubuh jadi lungkrah, energi terkuras. "Minumlah biar marahmu hilang," kata orang tua.

Orang bijak mampu mengatasi pertentangan antara terang dan gelap, baik dan buruk, kenikmatan dan rasa sakit, penghormatan dan penghinaan, dari dalam diri sendiri. Dia menyadari bahwa hidup yang disebut-sebut sebagai penderitaan --terdengar pesimistis, walau itu realitas-- diubah menjadi sebuah kenikmatan.

Sesungguhnya, kehidupan itu dipenuhi oleh refleksi. Jika bertemu dengan orang yang dipenuhi cinta, maka hati kita pun terefleksikan oleh cinta. Pertemuan dengan orang-orang gelisah hanya melahirkan kegelisahan. Maka, kepada sesama, yang terbaik adalah memberikan cinta, bukan kebencian. Kesucian pikiran itu akan menular --dalam tempo lama atau sepintas.

Seorang rekan yang bertemu orang bersih --paling tidak di mata saya-- mengangguk-angguk menerima petuahnya. Ia mengungkapkan rasa bersalah lantaran cintanya mendua. "Bapak pasti bisa. Buatlah rumah Bapak nyaman, dan jadikanlah ranjang itu sehangat awal-awal pernikahan," kata orang itu. Ternyata kesadaran itu hanya satu-dua hari, lalu kembali seperti sediakala.

Memang hidup ini warna-warni. Hazrat Inayat Khan menulis, "Kadang-kadang orang yang sibuk mengembangkan mental dengan penyucian mental, harus melakukan pengorbanan-pengorbanan kecil, kegagalan-kegagalan kecil. Namun semua itu hanyalah proses menuju sesuatu yang substansial, yang sangat berharga."

Irama hidup itu pula yang mewujud dalam diri Mbah Setro, warga Bantul, Yogyakarta. Ia berjualan arang sejak zaman Belanda hingga era internet. Pria buta huruf ini hidup jujur kendati menyadari bahwa kehausan --tepatnya keserakahan-- manusia itu tidak terbatas. Ia tak mau mengambil milik orang lain.

Dan, jangankan mengambil, menyumbang tetangga hajatan pun perlu kememperan. Sehari jualan arang, dia untung Rp 2.000-Rp 5.000. Tapi sekali diundang hajatan, keluarga miskin ini menyumbang Rp 20.000-Rp 25.000. "Masak, kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayam-nya, kami tega memakannya begitu saja," kata Setro kepada Kompas.

Dengan arang di kepala, Setro bisa berjalan berkilo-kilometer. Doa yang dirapalkan saat mau berjualan adalah: Kakang kawah adi ari-ari, dongakno aku slamet, aku arep mlaku, dongakno payu. Ia percaya, kakang kawah adi ari-ari adalah saudara kandungnya yang tidak kelihatan, yang selalu menemani dan tidak pernah membuatnya sepi dan sendirian.

Kebudayaan Jawa yang ideal senantiasa berakar dari kesucian moral yang dibangun melalui laku prihatin dan menjaga diri dari nafsu. Hidup penuh tepa selira. Hidup adalah realitas, tapi kebersihan hati yang utama. Dan, bagi mereka, kepribadian tidak akan hilang setelah kematian. Itu yang akan menyertai di akhirat kelak.

"Pikiran adalah kawan yang paling baik bagi orang yang sudah menaklukkan pikiran; tetapi bagi orang yang gagal menaklukkan pikiran, maka pikirannya akan tetap sebagai musuh yang paling besar," tulis Bhagavad-gita dalam Sloka 6.6. Tujuan hidup bisa rusak karena melayani perintah nafsu, marah, serakah, khayalan, dan sebagainya.

Sebuah pepatah mengatakan, pikiran orang suci seringkali tampak terlalu bagus untuk hidup dan --karena itu-- diremehkan manusia. Akibatnya, seringkali ia tampak bukan bagian dari dunia ini. Ungkapan, "Kamu sok suci!" sering terngiang di telinga. Dituding bodoh karena menampik sogokan atau tak mau berkongkalikong.

Yang elok, seringkali, ketidakjujuran dan pikiran kotor itu justru membawa sukses besar seseorang. Misalnya menjadi elite politik, konglomerat, pejabat daerah, atau sak apes-apesnya jadi CEO ternama. Tentu, semua ini bukan salah orang suci tersebut, melainkan kesalahan dunia yang busuk. Semua orang seakan terobsesi bahwa keberhasilan materi adalah segalanya.

Maka, orang yang berpikir jernih pun mengangkat tangan: "Saya kalah, saya ngalah, karena tidak berdaya." Adilkah? Pertanyaan itu sulit dijawab. "Allah punya skenario yang tidak kita ketahui," itu jawaban paling aman.

Apalagi jika ukurannya terletak pada dua kata: "salah dan benar". Umar Kayam pernah menulis, "Sehelai rambut memisahkan salah dari benar." Mari kita kembalikan ke titik awal: niatnya seperti apa?

[Esai, Gatra Nomor 07 beredar Jumat, 24 Desember 2004]

Selasa, 12 Januari 2010

DOMPET

Oleh: Widi Yarmanto


MENGUKUR batin seseorang itu tidak mudah. Kita bisa dibuat terkecoh. Melihat
seorang pria perlente berjas dasi, misalnya, dikira eksekutif, eh, ternyata
penggasak uang rakyat. Atau, wanita cantik, wangi, dan bergaya bicara menarik
ternyata seorang penipu ulung.

Sebaliknya, seseorang yang kucel tak terawat, berpakaian sederhana --olah
vokalnya pun amat sangat tidak meyakinkan-- ternyata bukan orang sembarangan.
Ilmunya mumpuni. Dia tak lagi peduli apakah melihat perempuan atau sebuah
tembok. Dia telah luruh dari segala sesuatu.

Dia tak sedih bila menghadapi masalah. Sebab, keyakinannya, Allah tidak akan
memberi beban pada umatnya yang tak mampu memikul. Bahwa masalahnya belum
terselesaikan, itu semata-mata karena belum bisa belajar bersabar. "Bagaimana
bisa bersabar bila nafsumu terus berjalan menyinari akalmu?"

Makanya, jangan melihat seseorang dari kulitnya saja. Apalagi sekadar nguping
dari isu yang tak jelas sumbernya, hingga cenderung menyudutkan serta mengandung
fitnah. Melihat dengan kepekaan batin memang tidak mudah.

Berdeda dengan melihat sesuatu memakai kacamata materi. Wong, minta tolong
ditunjukkan hotel anu yang tak lebih dari 20 langkah saja dengan imbalan. "Bapak
punya rokok, kan?" katanya. Lantaran bukan perokok, ya, mentahnya saja.

Rasanya, menemukan orang tanpa pamrih terasa tidak mudah. Mungkin, akibat
kehidupan yang makin keras, hingga segala aktivitas dinilai dengan duit. Atau,
barangkali, ini pertanda bahwa bumi dan otak makin kopyor. Walhasil, semuanya
ditinjau dari "bermanfaat buat kantong atau tidak, menaikkan martabat atau
tidak".

Dengan pertimbangan itu pula seorang pengurus yayasan pendidikan sampai
mengorbankan idealismenya. Ceritanya, ia perlu dana operasional jutaan rupiah.
Ia nekat mengagunkan surat mobil pada bank. Padahal, fisik mobil itu sudah
tiada, dicuri orang.

"Nanti kalau ketahuan dan masuk bui, bagaimana," tanya istrinya penuh
ketar-ketir. Jawab si suami ketus: "Saya yang bertanggung jawab." Jawaban
nyelekit seperti itu amat mengagetkan, setelah sekitar 10 tahun berumah tangga.
Tampaknya, otak suaminya sudah ditumpulkan oleh kehormatan yang berlebihan.

Sebenarnya, jika kita bisa melihat sesuatu secara jernih, semuanya insya Allah
beres. Apalagi melihat dengan mata batin. Itu pula yang dilakukan seorang
penjual kemenyan Arab di Tanah Abang pada calon pembelinya. Setelah batinnya
mengatakan "orang ini berkaromah", sikap acuh tak acuhnya berubah total.

"Bapak ini siapa?" tanyanya. Pria muda berkacamata hitam dan bertopi itu
tersenyum. Ia hanya menyebut sebagai orang biasa. Si penjual tak percaya. "Bapak
dikelilingi sinar putih. Masya Allah," katanya keheranan.

Dan, karenanya, kemenyan itu digratiskan. "Silakan Bapak ambil," katanya. Tapi
pria itu ingin membayar sesuai dengan harga penawaran yang Rp 65.000. "Saya
tidak ingin merugikan Bapak," kata si calon pembeli. Akhirnya, dicapai kompromi.
"Bapak doakan saya, dan kemenyan ini untuk Bapak," katanya. Transaksi terjadi,
pembacaan doa pun oke.

Bisa jadi, pandangan batin si penjual benar. Kiai muda itu punya kepatuhan
mutlak pada Allah. Dia pun bukan yang dibutakan oleh harta. Dan, karena itu, dia
tak pernah menghitung jika beramal. Dia memberi sesuai dengan bisikan batin.
"Uang di dompet saya bisa ludes karena saya berikan pada orang yang
membutuhkan," katanya, tanpa bermaksud riya'.

Kejadian itu berulang kali, dan tetap terulang terus. Kepada para jamaahnya, ia
tak pernah henti mengumandang keikhlasan agar semua amal menjadi beres.
Perlakuannya pada segala makhluk ciptaan Allah dilakukan dengan penuh kasih. Ia,
misalnya, tak mau menginjak rumput, dan memilih berjalan melingkar ketimbang
rumput itu mati terinjak.

Cara menyikapi seperti itu, mungkin, yang dimaksud dengan "melihat dengan cahaya
Tuhan". Jiwanya telah menapak jalan kesufian. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari
dan Tirmidzi dikatakan: "Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab
sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Tuhan."

Anda pernah mendengar kisah dari Abu Al-Abbas ibn Al-Muhradi dalam Menggapai
Kecerdasan Sufistik, Penerbit Hikmah? "Suatu kali aku berada di padang pasir.
Aku melihat seorang laki-laki berjalan di hadapanku dengan kaki telanjang dan
tanpa penutup kepala, dan dia tidak membawa dompet. Aku berkata dalam diriku
sendiri, 'Bagaimana orang ini berdoa? Dia tidak memiliki kesucian maupun doa'."

Belum sempat sempat Al-Muhradi berprasangka lebih jauh, orang itu berpaling
kepadanya dan berkata, "Dia tahu apa yang ada di dalam hatimu, karena itu
takutlah kepada-Nya." Segera sesudah itu, Al-Muhradi pingsan. Begitu sadar, dia
memohon ampun kepada Tuhan karena telah salah menuduh seseorang.

Al-Muhardi melanjutkan kisahnya, "Ketika aku sedang berjalan sepanjang jalan
itu, dia datang lagi ke hadapanku; ketika aku melihatnya, aku merasa takut dan
berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kepadaku dan menyitir ayat suci, 'Allah
yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, dan mengampuni perbuatan-perbuatan
buruk mereka'." Selesai berucap, orang itu menghilang. "Dan, aku tidak pernah
melihatnya lagi." Wallahualam.

[Esai, GATRA, Edisi 12 Beredar Jumat 30 Januari 2004]

--------------------------------------------------------------------------------
URL: http://www.gatra.com/

Senin, 24 November 2008

Perjalanan Tanpa Batas

Hidup tak pernah ada ujung pangkal

Berliku-liku

Kadang kala tak sesuai harapan

Tapi ini adalah kenyataan

Renungkan!!

Sabtu, 10 Januari 2004

Di Ujung Mimpi (Cerpen)

Seperti biasa, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang menjadi satu-satunya jalur alternatif yang menghubungkan jalan raya pinggir kota. Tas butut yang selalu menemaniku kemana saja, sudah mulai menampakkan guratan lapuk di makan usia. Tapi masih saja aku paksakan terus untuk mendampingiku, mungkin saja andaikan tas itu bisa bicara pasti meronta menangis minta pensiun. Tapi sekali lagi harus aku bawa, karena hanya satu-satunya tas yang ku miliki.

Di seberang jalan, sampailah aku di tempat pemberhentian bus kota. Lama sekali aku duduk termangu menatap kerumunan manusia yang terlihat penuh kesibukan. Beberapa kali pak kondektur menawarkan jasanya dengan tujuan tertentu. Dan aku tetap saja tak bergeming untuk merespon walau hanya dengan senyuman. Namun sesekali hendak melangkahkan kaki ini ke arah tangga masuk ke dalam bus mini, tiba-tiba niat meng-urung begitu saja. Entah perasaan apa yang mengendap hampa seakan-akan berubah menjadi awan mendung yang menggumpal hitam dan seperti ada yang mendepak tubuhku begitu kuat. Nyaliku semakin mengerut ciut. Inikah yang di namakan trauma?! Yah, trauma. Karena aku merasakan tekanan jiwa yang menggoncang dan memudarkan semangat yang dulu pernah menjadikan suatu kekuatan pada diri ini.

Semua terjadi begitu cepat...

Aku sadar akan diriku yang lemah tak berdaya jika di hadapkan pada masalah itu. Selalu saja merasa gagal.

* * *

Entah sudah berapa lama aku duduk berteman sepi, walaupun suasana kota sangat ramai hilir mudik kendaraan. Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas dan selalu menghantuiku. Satu per satu mata ini memandang sudut ruang dunia yang pengap.Tapi tetap saja kosong. Dan aku masih tertunduk lunglai, tatapanku meredup pudar. Rasanya tak sanggup lagi hati ini kembali tegar meyambut kenyataan. Akhirnya coba ku paksa langkahkan kaki menembus kepenatan-kepenatan hidup. Tak lama, tiba-tiba langkah gontai kakiku terhenti oleh sosok pemuda yang membawa setumpuk koran yang di selipkan di sela-sela tangan kanannya. Kedua bola mata ini lekat memandangi pemuda dengan balutan kain lusuh itu. Seperti aku dulu ketika sebisa mungkin membantu emak hanya sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi. Betapa beratnya menanggung beban hidup yang kadang tak sanggup ku pahami namun tetap bertahan. Tak begitu lama pikiranku kembali terusik ingatan masa lalu yang membuat aku semakin rindu akan kehadiran emak. Ah, seketika bayangan emak nun jauh di sana begitu jelas di depan mataku. Rasanya senantiasa hadir di dalam hati ini. Masih terngiang nyaring dalam indra pendengaranku harapan-harapan emak yang pernah tertanam di hati nan suci belahan jiwaku itu. Walaupun dulu aku masih labil dalam berfikir.

”Mar, besok kalau sudah lulus mau nglanjutin kemana nak?” Lirih suara parau emak menghenyak nadiku.

”Sudahlah mak, itu kan masih lama. Lagian aku belum mikirin kok.” Jawabku dengan nada selembut mungkin. Lalu aku coba alihkan pembicaraan, tetap saja emak mendesakku tanpa henti. Begitu besar harapan wanita pengayom jiwaku itu kepadaku agar aku tetap dan terus melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, meski emak sendiri belum pernah merasakan bangku yang lebih tinggi di atas sekolah dasar.

”Mar, kamu ingin membahagiakan emakmu ini to le??” Tanya emak sambil mendekapku penuh kasih sayang.

”Tentu lah mak, Damar tak akan pernah sedikit pun mengecewakan emak.” Jawabku seraya memeluk erat tubuh yang mulai merapuh itu, seakan menahan sesuatu yang sangat berharga agar tidak jatuh ke jurang yang sangat dalam. Pipiku basah. Terasa ada yang meleleh tak terbendung.

”Damar...” Pelan sekali suara emak namun mampu memecah keheningan.

Tubuhku yang lemah di tegakkannya dengan kelembutan belaian kasih sayang emak.

”Mar, harapan ini bukan hanya dari emak sendiri nak. Dulu mendiang bapakmu lah yang sangat besar harapannya dengan keinginan itu waktu kamu masih berusia dua tahun.” Emak tersenyum padaku meski kedua sudut matanya mengalir lembut air mata penuh pengharapan. Tampak sekali dalam setiap tetesan bulir air matanya terukir jelas nama bapak. Dan ketegaran hati emak memaksaku berkata, ”Ya, mak.”

Aku tak kuasa menatap wajah emak yang mulai semakin mengeriput namun penuh ketegaran. Tapi aku harus tetap tersenyum meski di balik senyuman ini menyimpan beribu tanda tanya. Dengan modal apa aku akan melanjutkan sekolah?? Biaya dari mana? Aku bisa apa? Di mana tempat kuliahku kelak? Ah...

* * *

Akhirnya aku kuliah juga. Entah apa yang akan terjadi andaikan paman, adik bapak yang paling kecil itu tidak peduli dengan ku. Lebih tepatnya pada keluargaku. Keluarga paman memang lebih berada di bandingkan dengan anak-anak kakek yang lain. Awalnya aku enggan menerima tawaran dari niat baik pamanku itu. Karena aku tahu ia pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit setiap bulannya untuk anak-anaknya yang masih sekolah juga.

”Paman, terima kasih. Ndak usah repot-repot. Sekarang aku sudah berusaha cari-cari kerja kok.” Ucapku kepada paman, meski sebenarnya aku sama sekali belum pernah mencari kerja. Emak yang dari tadi duduk di samping kiriku mengamini kata-kataku. Ya, dasarnya alasan tadi, sungkan. Karena emak juga tidak mau membebani orang lain. Dan dulu, falsafah itulah yang senantiasa di tanamkan di hati kami oleh mendiang bapak.

”Eeehh... berusaha tapi belum dapat kan?! Sudahlah, lagian tidak baik to menolak rezeki. Yang penting kamu rajin belajar di sana. Wujudkan cita-cita bapakmu.” Desakan paman yang tulus sempat tetap aku tolak. Tapi sejurus kemudian paman mengatakan, kalau dia tidak bisa membiayai kuliahku keseluruhan. Aku dan emak pun mau tidak mau menyetujuinya. Jadi disana aku harus mencari ongkos hidup di kota yang di penuhi faham hedonis ini.

* * *

Empat tahun sudah peran sebagai mahasiswa aku jalani. Tapi kini semua terasa hampa. Tiap kali kejadian itu melintas di kepala, mendidih rasanya hati. Tapi dengan siapa kemarahan ini terlapiaskan. Siapa yang harus ku salahkan.

Aku kembali tertunduk lemah. Serasa tak ada lagi semangat dalam hidup ini. Apa yang akan ku katakan pada emak dan paman yang telah membiayai kuliahku lebih dari cukup. Apakah akan ku ceritakan dengan jujur tentang semua ini. Belum sempat lamunan resahku terlampiaskan, tiba-tiba terlihat dari kejauhan sosok pemuda yang lari tergopoh-gopoh menghampiriku. Ternyata dia adalah Farhan, teman satu kontrakan. Sudah sekian jam dia mencariku di setiap sudut kota dan akhirnya menemukanku juga. Dengan nada cemas dan nafas tersenggal-senggal dia mengatakan, ”Mar, ada surat untukmu. Penting. Kamu harus pulang sekarang!!” Raut mukanya menampakkan kelelahan. Mungkin karena terlalu memaksakan diri berlari untuk mencariku. Sepucuk surat tanpa amplop itu langsung di sodorkan padaku. Tanpa pikir panjang ku sahut suratnya dan ku baca,

”Damar, pulanglah nak. Emak sakit keras.”

Tiga kata terakhir dari coretan pena hitam itu seketika membuat tubuhku semakin layu bagaikan daun kering yang berjatuhan tak berdaya. Dalam hatiku hanya mampu menggumam... Apa yang harus ku lakukan?!! Apa yang akan ku katakan pada mereka semua tentang surat Drop Out dari rektor karena aku di tuduh membidani aksi demonstrasi atas ketidak adilan kebijakan otoritas kampus yang sangat kapitalis?!!

Tubuh rasanya seperti terhempas dari alam dunia. Terjerembab tak tentu arah. Kini ijazah sarjana sebagai tanda kelulusan pun hanyalah menjadi sebuah mimpi yang tak kan pernah menabur indahnya kebanggaan di hati orang-orang yang sangat ku sayangi. Hanyut bersama angan di ujung mimpi.

Mak, pak, paman, maafkan aku...


* Pernah dimuat diharian Solopos