Sabtu, 14 Agustus 2010

NIAT

Saya sempat jalan-jalan ke selayar.blog, dan menemukan tulisannya Widi Yarmanto yang berjudul "niat". Karena saya sangat suka dengan tulisan itu, maka saya muat di blog ini. Selamat membaca!
-----------------
NIAT itu punya kekuatan luar biasa. Jika niat itu lurus, sering membuahkan di luar dugaan. Sebaliknya, niat yang ragu-ragu acap berujung jeblok. Atau, kalaupun dipaksakan, sering berakhir dengan nggedumel di hati, dan menyalahkan orang lain.

Akibatnya, wajah ditekuk hingga manyun. Jika diingatkan bahwa cemberut itu tak sedap dipandang, jawabannya malah sengak: "Biarin, wajah-wajahku sendiri, marah-marahku sendiri." Lho, tambah umur, kok, kembali jadi kanak-kanak.

Bekerja, bertetangga, dan berteman pun tak lepas dari niat. Niat untuk mengabdi, menjalin persaudaraan, atau apa pun. Misalnya, kerjaan tak beres diingatkan sebagai asal-asalan malah sewot, "Merasa ditikam dari belakang." Aneh!

Padahal, koreksi itu justru cambuk agar Anda bisa berlari kencang. Atau, kalaupun dimarahi --lantaran yakin Anda dalam policy koridor kebenaran-- sambutlah dengan rasa terima kasih. Sebab, itu justru membantu ketenangan dan kebijaksanaan Anda, tak usah bete.

Memang, kita cenderung nikmat untuk berilusi. Puas pada diri sendiri. Kita mungkin sadar memasuki api yang menyala, tapi belum menyadari akibatnya. Seringkali kesadaran itu muncul belakangan, setelah langkah terbentur kiri-kanan, setelah kayu berubah arang.

Kita pasti pernah mengalami bahwa marah itu tidak nyaman. Nafsu itu hanya akan membuat napas tersendat di leher, dan badan serasa dilolosi. Tubuh jadi lungkrah, energi terkuras. "Minumlah biar marahmu hilang," kata orang tua.

Orang bijak mampu mengatasi pertentangan antara terang dan gelap, baik dan buruk, kenikmatan dan rasa sakit, penghormatan dan penghinaan, dari dalam diri sendiri. Dia menyadari bahwa hidup yang disebut-sebut sebagai penderitaan --terdengar pesimistis, walau itu realitas-- diubah menjadi sebuah kenikmatan.

Sesungguhnya, kehidupan itu dipenuhi oleh refleksi. Jika bertemu dengan orang yang dipenuhi cinta, maka hati kita pun terefleksikan oleh cinta. Pertemuan dengan orang-orang gelisah hanya melahirkan kegelisahan. Maka, kepada sesama, yang terbaik adalah memberikan cinta, bukan kebencian. Kesucian pikiran itu akan menular --dalam tempo lama atau sepintas.

Seorang rekan yang bertemu orang bersih --paling tidak di mata saya-- mengangguk-angguk menerima petuahnya. Ia mengungkapkan rasa bersalah lantaran cintanya mendua. "Bapak pasti bisa. Buatlah rumah Bapak nyaman, dan jadikanlah ranjang itu sehangat awal-awal pernikahan," kata orang itu. Ternyata kesadaran itu hanya satu-dua hari, lalu kembali seperti sediakala.

Memang hidup ini warna-warni. Hazrat Inayat Khan menulis, "Kadang-kadang orang yang sibuk mengembangkan mental dengan penyucian mental, harus melakukan pengorbanan-pengorbanan kecil, kegagalan-kegagalan kecil. Namun semua itu hanyalah proses menuju sesuatu yang substansial, yang sangat berharga."

Irama hidup itu pula yang mewujud dalam diri Mbah Setro, warga Bantul, Yogyakarta. Ia berjualan arang sejak zaman Belanda hingga era internet. Pria buta huruf ini hidup jujur kendati menyadari bahwa kehausan --tepatnya keserakahan-- manusia itu tidak terbatas. Ia tak mau mengambil milik orang lain.

Dan, jangankan mengambil, menyumbang tetangga hajatan pun perlu kememperan. Sehari jualan arang, dia untung Rp 2.000-Rp 5.000. Tapi sekali diundang hajatan, keluarga miskin ini menyumbang Rp 20.000-Rp 25.000. "Masak, kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayam-nya, kami tega memakannya begitu saja," kata Setro kepada Kompas.

Dengan arang di kepala, Setro bisa berjalan berkilo-kilometer. Doa yang dirapalkan saat mau berjualan adalah: Kakang kawah adi ari-ari, dongakno aku slamet, aku arep mlaku, dongakno payu. Ia percaya, kakang kawah adi ari-ari adalah saudara kandungnya yang tidak kelihatan, yang selalu menemani dan tidak pernah membuatnya sepi dan sendirian.

Kebudayaan Jawa yang ideal senantiasa berakar dari kesucian moral yang dibangun melalui laku prihatin dan menjaga diri dari nafsu. Hidup penuh tepa selira. Hidup adalah realitas, tapi kebersihan hati yang utama. Dan, bagi mereka, kepribadian tidak akan hilang setelah kematian. Itu yang akan menyertai di akhirat kelak.

"Pikiran adalah kawan yang paling baik bagi orang yang sudah menaklukkan pikiran; tetapi bagi orang yang gagal menaklukkan pikiran, maka pikirannya akan tetap sebagai musuh yang paling besar," tulis Bhagavad-gita dalam Sloka 6.6. Tujuan hidup bisa rusak karena melayani perintah nafsu, marah, serakah, khayalan, dan sebagainya.

Sebuah pepatah mengatakan, pikiran orang suci seringkali tampak terlalu bagus untuk hidup dan --karena itu-- diremehkan manusia. Akibatnya, seringkali ia tampak bukan bagian dari dunia ini. Ungkapan, "Kamu sok suci!" sering terngiang di telinga. Dituding bodoh karena menampik sogokan atau tak mau berkongkalikong.

Yang elok, seringkali, ketidakjujuran dan pikiran kotor itu justru membawa sukses besar seseorang. Misalnya menjadi elite politik, konglomerat, pejabat daerah, atau sak apes-apesnya jadi CEO ternama. Tentu, semua ini bukan salah orang suci tersebut, melainkan kesalahan dunia yang busuk. Semua orang seakan terobsesi bahwa keberhasilan materi adalah segalanya.

Maka, orang yang berpikir jernih pun mengangkat tangan: "Saya kalah, saya ngalah, karena tidak berdaya." Adilkah? Pertanyaan itu sulit dijawab. "Allah punya skenario yang tidak kita ketahui," itu jawaban paling aman.

Apalagi jika ukurannya terletak pada dua kata: "salah dan benar". Umar Kayam pernah menulis, "Sehelai rambut memisahkan salah dari benar." Mari kita kembalikan ke titik awal: niatnya seperti apa?

[Esai, Gatra Nomor 07 beredar Jumat, 24 Desember 2004]

Selasa, 12 Januari 2010

DOMPET

Oleh: Widi Yarmanto


MENGUKUR batin seseorang itu tidak mudah. Kita bisa dibuat terkecoh. Melihat
seorang pria perlente berjas dasi, misalnya, dikira eksekutif, eh, ternyata
penggasak uang rakyat. Atau, wanita cantik, wangi, dan bergaya bicara menarik
ternyata seorang penipu ulung.

Sebaliknya, seseorang yang kucel tak terawat, berpakaian sederhana --olah
vokalnya pun amat sangat tidak meyakinkan-- ternyata bukan orang sembarangan.
Ilmunya mumpuni. Dia tak lagi peduli apakah melihat perempuan atau sebuah
tembok. Dia telah luruh dari segala sesuatu.

Dia tak sedih bila menghadapi masalah. Sebab, keyakinannya, Allah tidak akan
memberi beban pada umatnya yang tak mampu memikul. Bahwa masalahnya belum
terselesaikan, itu semata-mata karena belum bisa belajar bersabar. "Bagaimana
bisa bersabar bila nafsumu terus berjalan menyinari akalmu?"

Makanya, jangan melihat seseorang dari kulitnya saja. Apalagi sekadar nguping
dari isu yang tak jelas sumbernya, hingga cenderung menyudutkan serta mengandung
fitnah. Melihat dengan kepekaan batin memang tidak mudah.

Berdeda dengan melihat sesuatu memakai kacamata materi. Wong, minta tolong
ditunjukkan hotel anu yang tak lebih dari 20 langkah saja dengan imbalan. "Bapak
punya rokok, kan?" katanya. Lantaran bukan perokok, ya, mentahnya saja.

Rasanya, menemukan orang tanpa pamrih terasa tidak mudah. Mungkin, akibat
kehidupan yang makin keras, hingga segala aktivitas dinilai dengan duit. Atau,
barangkali, ini pertanda bahwa bumi dan otak makin kopyor. Walhasil, semuanya
ditinjau dari "bermanfaat buat kantong atau tidak, menaikkan martabat atau
tidak".

Dengan pertimbangan itu pula seorang pengurus yayasan pendidikan sampai
mengorbankan idealismenya. Ceritanya, ia perlu dana operasional jutaan rupiah.
Ia nekat mengagunkan surat mobil pada bank. Padahal, fisik mobil itu sudah
tiada, dicuri orang.

"Nanti kalau ketahuan dan masuk bui, bagaimana," tanya istrinya penuh
ketar-ketir. Jawab si suami ketus: "Saya yang bertanggung jawab." Jawaban
nyelekit seperti itu amat mengagetkan, setelah sekitar 10 tahun berumah tangga.
Tampaknya, otak suaminya sudah ditumpulkan oleh kehormatan yang berlebihan.

Sebenarnya, jika kita bisa melihat sesuatu secara jernih, semuanya insya Allah
beres. Apalagi melihat dengan mata batin. Itu pula yang dilakukan seorang
penjual kemenyan Arab di Tanah Abang pada calon pembelinya. Setelah batinnya
mengatakan "orang ini berkaromah", sikap acuh tak acuhnya berubah total.

"Bapak ini siapa?" tanyanya. Pria muda berkacamata hitam dan bertopi itu
tersenyum. Ia hanya menyebut sebagai orang biasa. Si penjual tak percaya. "Bapak
dikelilingi sinar putih. Masya Allah," katanya keheranan.

Dan, karenanya, kemenyan itu digratiskan. "Silakan Bapak ambil," katanya. Tapi
pria itu ingin membayar sesuai dengan harga penawaran yang Rp 65.000. "Saya
tidak ingin merugikan Bapak," kata si calon pembeli. Akhirnya, dicapai kompromi.
"Bapak doakan saya, dan kemenyan ini untuk Bapak," katanya. Transaksi terjadi,
pembacaan doa pun oke.

Bisa jadi, pandangan batin si penjual benar. Kiai muda itu punya kepatuhan
mutlak pada Allah. Dia pun bukan yang dibutakan oleh harta. Dan, karena itu, dia
tak pernah menghitung jika beramal. Dia memberi sesuai dengan bisikan batin.
"Uang di dompet saya bisa ludes karena saya berikan pada orang yang
membutuhkan," katanya, tanpa bermaksud riya'.

Kejadian itu berulang kali, dan tetap terulang terus. Kepada para jamaahnya, ia
tak pernah henti mengumandang keikhlasan agar semua amal menjadi beres.
Perlakuannya pada segala makhluk ciptaan Allah dilakukan dengan penuh kasih. Ia,
misalnya, tak mau menginjak rumput, dan memilih berjalan melingkar ketimbang
rumput itu mati terinjak.

Cara menyikapi seperti itu, mungkin, yang dimaksud dengan "melihat dengan cahaya
Tuhan". Jiwanya telah menapak jalan kesufian. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari
dan Tirmidzi dikatakan: "Takutlah pada wawasan orang yang beriman, sebab
sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Tuhan."

Anda pernah mendengar kisah dari Abu Al-Abbas ibn Al-Muhradi dalam Menggapai
Kecerdasan Sufistik, Penerbit Hikmah? "Suatu kali aku berada di padang pasir.
Aku melihat seorang laki-laki berjalan di hadapanku dengan kaki telanjang dan
tanpa penutup kepala, dan dia tidak membawa dompet. Aku berkata dalam diriku
sendiri, 'Bagaimana orang ini berdoa? Dia tidak memiliki kesucian maupun doa'."

Belum sempat sempat Al-Muhradi berprasangka lebih jauh, orang itu berpaling
kepadanya dan berkata, "Dia tahu apa yang ada di dalam hatimu, karena itu
takutlah kepada-Nya." Segera sesudah itu, Al-Muhradi pingsan. Begitu sadar, dia
memohon ampun kepada Tuhan karena telah salah menuduh seseorang.

Al-Muhardi melanjutkan kisahnya, "Ketika aku sedang berjalan sepanjang jalan
itu, dia datang lagi ke hadapanku; ketika aku melihatnya, aku merasa takut dan
berhenti berjalan. Tapi dia berpaling kepadaku dan menyitir ayat suci, 'Allah
yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, dan mengampuni perbuatan-perbuatan
buruk mereka'." Selesai berucap, orang itu menghilang. "Dan, aku tidak pernah
melihatnya lagi." Wallahualam.

[Esai, GATRA, Edisi 12 Beredar Jumat 30 Januari 2004]

--------------------------------------------------------------------------------
URL: http://www.gatra.com/