Sabtu, 10 Januari 2004

Di Ujung Mimpi (Cerpen)

Seperti biasa, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang menjadi satu-satunya jalur alternatif yang menghubungkan jalan raya pinggir kota. Tas butut yang selalu menemaniku kemana saja, sudah mulai menampakkan guratan lapuk di makan usia. Tapi masih saja aku paksakan terus untuk mendampingiku, mungkin saja andaikan tas itu bisa bicara pasti meronta menangis minta pensiun. Tapi sekali lagi harus aku bawa, karena hanya satu-satunya tas yang ku miliki.

Di seberang jalan, sampailah aku di tempat pemberhentian bus kota. Lama sekali aku duduk termangu menatap kerumunan manusia yang terlihat penuh kesibukan. Beberapa kali pak kondektur menawarkan jasanya dengan tujuan tertentu. Dan aku tetap saja tak bergeming untuk merespon walau hanya dengan senyuman. Namun sesekali hendak melangkahkan kaki ini ke arah tangga masuk ke dalam bus mini, tiba-tiba niat meng-urung begitu saja. Entah perasaan apa yang mengendap hampa seakan-akan berubah menjadi awan mendung yang menggumpal hitam dan seperti ada yang mendepak tubuhku begitu kuat. Nyaliku semakin mengerut ciut. Inikah yang di namakan trauma?! Yah, trauma. Karena aku merasakan tekanan jiwa yang menggoncang dan memudarkan semangat yang dulu pernah menjadikan suatu kekuatan pada diri ini.

Semua terjadi begitu cepat...

Aku sadar akan diriku yang lemah tak berdaya jika di hadapkan pada masalah itu. Selalu saja merasa gagal.

* * *

Entah sudah berapa lama aku duduk berteman sepi, walaupun suasana kota sangat ramai hilir mudik kendaraan. Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas dan selalu menghantuiku. Satu per satu mata ini memandang sudut ruang dunia yang pengap.Tapi tetap saja kosong. Dan aku masih tertunduk lunglai, tatapanku meredup pudar. Rasanya tak sanggup lagi hati ini kembali tegar meyambut kenyataan. Akhirnya coba ku paksa langkahkan kaki menembus kepenatan-kepenatan hidup. Tak lama, tiba-tiba langkah gontai kakiku terhenti oleh sosok pemuda yang membawa setumpuk koran yang di selipkan di sela-sela tangan kanannya. Kedua bola mata ini lekat memandangi pemuda dengan balutan kain lusuh itu. Seperti aku dulu ketika sebisa mungkin membantu emak hanya sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi. Betapa beratnya menanggung beban hidup yang kadang tak sanggup ku pahami namun tetap bertahan. Tak begitu lama pikiranku kembali terusik ingatan masa lalu yang membuat aku semakin rindu akan kehadiran emak. Ah, seketika bayangan emak nun jauh di sana begitu jelas di depan mataku. Rasanya senantiasa hadir di dalam hati ini. Masih terngiang nyaring dalam indra pendengaranku harapan-harapan emak yang pernah tertanam di hati nan suci belahan jiwaku itu. Walaupun dulu aku masih labil dalam berfikir.

”Mar, besok kalau sudah lulus mau nglanjutin kemana nak?” Lirih suara parau emak menghenyak nadiku.

”Sudahlah mak, itu kan masih lama. Lagian aku belum mikirin kok.” Jawabku dengan nada selembut mungkin. Lalu aku coba alihkan pembicaraan, tetap saja emak mendesakku tanpa henti. Begitu besar harapan wanita pengayom jiwaku itu kepadaku agar aku tetap dan terus melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, meski emak sendiri belum pernah merasakan bangku yang lebih tinggi di atas sekolah dasar.

”Mar, kamu ingin membahagiakan emakmu ini to le??” Tanya emak sambil mendekapku penuh kasih sayang.

”Tentu lah mak, Damar tak akan pernah sedikit pun mengecewakan emak.” Jawabku seraya memeluk erat tubuh yang mulai merapuh itu, seakan menahan sesuatu yang sangat berharga agar tidak jatuh ke jurang yang sangat dalam. Pipiku basah. Terasa ada yang meleleh tak terbendung.

”Damar...” Pelan sekali suara emak namun mampu memecah keheningan.

Tubuhku yang lemah di tegakkannya dengan kelembutan belaian kasih sayang emak.

”Mar, harapan ini bukan hanya dari emak sendiri nak. Dulu mendiang bapakmu lah yang sangat besar harapannya dengan keinginan itu waktu kamu masih berusia dua tahun.” Emak tersenyum padaku meski kedua sudut matanya mengalir lembut air mata penuh pengharapan. Tampak sekali dalam setiap tetesan bulir air matanya terukir jelas nama bapak. Dan ketegaran hati emak memaksaku berkata, ”Ya, mak.”

Aku tak kuasa menatap wajah emak yang mulai semakin mengeriput namun penuh ketegaran. Tapi aku harus tetap tersenyum meski di balik senyuman ini menyimpan beribu tanda tanya. Dengan modal apa aku akan melanjutkan sekolah?? Biaya dari mana? Aku bisa apa? Di mana tempat kuliahku kelak? Ah...

* * *

Akhirnya aku kuliah juga. Entah apa yang akan terjadi andaikan paman, adik bapak yang paling kecil itu tidak peduli dengan ku. Lebih tepatnya pada keluargaku. Keluarga paman memang lebih berada di bandingkan dengan anak-anak kakek yang lain. Awalnya aku enggan menerima tawaran dari niat baik pamanku itu. Karena aku tahu ia pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit setiap bulannya untuk anak-anaknya yang masih sekolah juga.

”Paman, terima kasih. Ndak usah repot-repot. Sekarang aku sudah berusaha cari-cari kerja kok.” Ucapku kepada paman, meski sebenarnya aku sama sekali belum pernah mencari kerja. Emak yang dari tadi duduk di samping kiriku mengamini kata-kataku. Ya, dasarnya alasan tadi, sungkan. Karena emak juga tidak mau membebani orang lain. Dan dulu, falsafah itulah yang senantiasa di tanamkan di hati kami oleh mendiang bapak.

”Eeehh... berusaha tapi belum dapat kan?! Sudahlah, lagian tidak baik to menolak rezeki. Yang penting kamu rajin belajar di sana. Wujudkan cita-cita bapakmu.” Desakan paman yang tulus sempat tetap aku tolak. Tapi sejurus kemudian paman mengatakan, kalau dia tidak bisa membiayai kuliahku keseluruhan. Aku dan emak pun mau tidak mau menyetujuinya. Jadi disana aku harus mencari ongkos hidup di kota yang di penuhi faham hedonis ini.

* * *

Empat tahun sudah peran sebagai mahasiswa aku jalani. Tapi kini semua terasa hampa. Tiap kali kejadian itu melintas di kepala, mendidih rasanya hati. Tapi dengan siapa kemarahan ini terlapiaskan. Siapa yang harus ku salahkan.

Aku kembali tertunduk lemah. Serasa tak ada lagi semangat dalam hidup ini. Apa yang akan ku katakan pada emak dan paman yang telah membiayai kuliahku lebih dari cukup. Apakah akan ku ceritakan dengan jujur tentang semua ini. Belum sempat lamunan resahku terlampiaskan, tiba-tiba terlihat dari kejauhan sosok pemuda yang lari tergopoh-gopoh menghampiriku. Ternyata dia adalah Farhan, teman satu kontrakan. Sudah sekian jam dia mencariku di setiap sudut kota dan akhirnya menemukanku juga. Dengan nada cemas dan nafas tersenggal-senggal dia mengatakan, ”Mar, ada surat untukmu. Penting. Kamu harus pulang sekarang!!” Raut mukanya menampakkan kelelahan. Mungkin karena terlalu memaksakan diri berlari untuk mencariku. Sepucuk surat tanpa amplop itu langsung di sodorkan padaku. Tanpa pikir panjang ku sahut suratnya dan ku baca,

”Damar, pulanglah nak. Emak sakit keras.”

Tiga kata terakhir dari coretan pena hitam itu seketika membuat tubuhku semakin layu bagaikan daun kering yang berjatuhan tak berdaya. Dalam hatiku hanya mampu menggumam... Apa yang harus ku lakukan?!! Apa yang akan ku katakan pada mereka semua tentang surat Drop Out dari rektor karena aku di tuduh membidani aksi demonstrasi atas ketidak adilan kebijakan otoritas kampus yang sangat kapitalis?!!

Tubuh rasanya seperti terhempas dari alam dunia. Terjerembab tak tentu arah. Kini ijazah sarjana sebagai tanda kelulusan pun hanyalah menjadi sebuah mimpi yang tak kan pernah menabur indahnya kebanggaan di hati orang-orang yang sangat ku sayangi. Hanyut bersama angan di ujung mimpi.

Mak, pak, paman, maafkan aku...


* Pernah dimuat diharian Solopos